Senin, 04 Februari 2013

ungkapan poligami

Ungkapan “poligami itu sunah” sering digunakan sebagai pembenaran poligami. Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk lain dari pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena pada kenyataannya, sebagaimana ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat sulit dilakukan (An-Nisa: 129).
Dalil “poligami adalah sunah” biasanya diajukan karena sandaran kepada teks ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih mudah dipatahkan. Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.
Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan –ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir– lebih memilih memperketat.
Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).
Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang pro- poligami dipelintir menjadi “hak penuh” laki-laki untuk ber- poligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang: semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, “poligami membawa berkah,” atau “poligami itu indah,” dan yang lebih populer adalah “poligami itu sunah.”

Kesunahan Poligami Ditinjau Dari Definisi Hukum Fikih

Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan. Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan poligami, yang dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat distorsif.
Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah tangga? Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan “poligami itu sunah”.
Sunah, seperti yang didefinisikan Imam Syafi’i (w. 204 H), adalah penerapan Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus poligami Nabi sedang mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami’ al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi.
Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakr RA.
Selain itu, sebagai rekaman sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan “poligami itu sunah” juga merupakan reduksi yang sangat besar. Nikah saja, menurut fikih, memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah bisa wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, Imam al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh al-Ma’âni, menyatakan, nikah bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami. Karena itu, Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu, lebih memilih mengharamkan poligami.
Nabi dan larangan poligami
Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial (lihat pada Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 108-179). Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.
Sebaliknya, yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami.
Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.
Pada banyak kesempatan, Nabi justru lebih banyak menekankan prinsip keadilan berpoligami. Dalam sebuah ungkapan dinyatakan: “Barangsiapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus” (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049). Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga perasaan istri.
Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan “poligami itu sunah” sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.
Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: “Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga.” (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).
Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir setiap orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi, poligami akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya.
Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunah justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami sampai Fathimah RA wafat.

hukum poligami



HUKUM POLIGAMI
Syaikh bin Baz mengatakan [Majalah Al-Balagh, edisi 1028 Fatwa Ibnu Baz] :
Berpoligami itu hukumnya sunnah bagi yang mampu, karena firmanNya “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilama kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” [An-Nisa : 3]
Dan praktek Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sendiri, dimana beliau mengawini sembilan wanita dan dengan mereka Allah memberikan manfaat besar bagi ummat ini. Yang demikian itu (sembilan istri) adalah khusus bagi beliau, sedang selain beliau dibolehkan berpoligami tidak lebih dari empat istri. Berpoligami itu mengandung banyak maslahat yang sangat besar bagi kaum laki-laki, kaum wanita dan Ummat Islam secara keseluruhan. Sebab, dengan berpoligami dapat dicapai oleh semua pihak, tunduknya pandangan (ghaddul bashar), terpeliharanya kehormatan, keturunan yang banyak, lelaki dapat berbuat banyak untuk kemaslahatan dan kebaikan para istri dan melindungi mereka dari berbagai faktor penyebab keburukan dan penyimpangan.
Tetapi orang yang tidak mampu berpoligami dan takut kalau tidak dapat berlaku adil, maka hendaknya cukup kawin dengan satu istri saja, karena Allah berfirman “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”. [An-Nisa : 3]
TAFSIR AYAT POLIGAMI
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja” [An-Nisa : 3]
Dan dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” [An-Nisa : 129]
Dalam ayat yang pertama disyaratkan adil tetapi dalam ayat yang kedua ditegaskan bahwa untuk bersikap adail itu tidak mungkin. Apakah ayat yang pertama dinasakh (dihapus hukumnya) oleh ayat yang kedua yang berarti tidak boleh menikah kecuali hanya satu saja, sebab sikap adil tidak mungkin diwujudkan ?
Mengenai hal ini, Syaikh bin Baz mengatakan [Fatawa Mar'ah. 2/62] :
Dalam dua ayat tersebut tidak ada pertentangan dan ayat yang pertama tidak dinasakh oleh ayat yang kedua, akan tetapi yang dituntut dari sikap adil adalah adil di dalam membagi giliran dan nafkah. Adapun sikap adil dalam kasih sayang dan kecenderungan hati kepada para istri itu di luar kemampuan manusia, inilah yang dimaksud dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” [An-Nisa : 129]
Oleh sebab itu ada sebuah hadits dari Aisyah Radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membagi giliran di antara para istrinya secara adil, lalu mengadu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam do’a: “Ya Allah inilah pembagian giliran yang mampu aku penuhi dan janganlah Engkau mencela apa yang tidak mampu aku lakukan” [Hadits Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim]
KERIDHAAN ISTRI TIDAK MENJADI SYARAT DI DALAM PERNIKAHAN KEDUA
Syaikh bin Baz mengatakan [Fatwa Ibnu Baz : Majalah Al-Arabiyah, edisi 168] :
Jika realitasnya kita sanggup untuk menikah lagi, maka boleh kita menikah lagi untuk yang kedua, ketiga dan keempat sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anda untuk menjaga kesucian kehormatan dan pandangan mata anda, jikalau anda memang mampu untuk berlaku adil, sebagai pengamalan atas firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilama kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja” [An-Nisa : 3]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kesanggupan, maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kesucian farji ; dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa dapat menjadi benteng baginya” [Muttafaq ‘Alaih]
Menikah lebih dari satu juga dapat menyebabkan banyak keturunan, sedangkan Syariat Islam menganjurkan memperbanyak anak keturunan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Kawinilah wanita-wanita yang penuh kasih sayang lagi subur (banyak anak), karena sesungguhnya aku akan menyaingi umat-umat yang lain dengan bilangan kalian pada hari kiamat kelak” [Riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban]
Yang dibenarkan agama bagi seorang istri adalah tidak menghalang-halangi suaminya menikah lagi dan bahkan mengizinkannya. Selanjutnya hendak kita berlaku adil semaksimal mungkin dan melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya terhadap istri-istri kita. Semua hal diatas adalah merupakan bentuk saling tolong menolong di dalam kebaikan dan ketaqwaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman “Dan saling tolong menolong kamu di dalam kebajikan dan taqwa” [Al-Maidah : 2]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Dan Allah akan menolong seorang hamba selagi ia suka menolong saudaranya” [Riwayat Imam Muslim]
Anda adalah saudara seiman bagi istri anda, dan istri anda adalah saudara seiman anda. Maka yang benar bagi anda berdua adalah saling tolong menolong di dalam kebaikan. Dalam sebuah hadits yang muttafaq ‘alaih bersumber dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Barangsiapa yang menunaikan keperluan saudaranya, niscaya Allah menunaikan keperluannya”
Akan tetapi keridhaan istri itu bukan syarat di dalam boleh atau tidaknya poligami (menikah lagi), namun keridhaannya itu diperlukan agar hubungan di antara kamu berdua tetap baik.
BERPOLIGAMI BAGI ORANG YANG MEMPUNYAI TANGGUNGAN ANAK-ANAK YATIM
Ada sebagian orang yang berkata, sesungguhnya menikah lebih dari satu itu tidak dibenarkan kecuali bagi laki-laki yang mempunyai tanggungan anak-anak yatim dan ia takut tidak dapat berlaku adil, maka ia menikah dengan ibunya atau dengan salah satu putrinya (perempuan yatim). Mereka berdalil dengan firman Allah “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat” [An-Nisa : 3]
Syaikh bin Baz mengatakan [Fatwa Ibnu Baz, di dalam Majalah Al-Arabiyah, edisi 83]
:
Ini adalah pendapat yang bathil. Arti ayat suci di atas adalah bahwasanya jika seorang anak perempuan yatim berada di bawah asuhan seseorang dan ia merasa takut kalau tidak bisa memberikan mahar sepadan kepadanya, maka hendaklah mencari perempuan lain, sebab perempuan itu banyak dan Allah tidak mempersulit hal itu terhadapnya.
Ayat diatas memberikan arahan tentang boleh (disyari’atkan)nya menikahi dua, tiga atau empat istri, karena yang demikian itu lebih sempurna dalam menjaga kehormatan, memalingkan pandangan mata dan memelihara kesucian diri, dan karena merupakan pemeliharaan terhadap kehormatan kebanyak kaum wanita, perbuatan ikhsan kepada mereka dan pemberian nafkah kepada mereka.
Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya perempuan yang mempunyai separoh laki-laki (suami), sepertiganya atau seperempatnya itu lebih baik daripada tidak punya suami sama sekali. Namun dengan syarat adil dan mampu untuk itu. Maka barangsiapa yang takut tidak dapat berlaku adil hendaknya cukup menikahi satu istri saja dengan boleh mempergauli budak-budak perempuan yang dimilikinya. Hal ini ditegaskan oleh praktek yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana saat beliau wafat meninggalkan sembilan orang istri. Dan Allah telah berfirman “Sesungguhnya telah ada bagi kamu pada Rasulullah suri teladan yang baik” [Al-Ahzab : 21]
Hanya saja Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada ummat Islam (dalam hal ini adalah kaum laki-laki, pent) bahwa tidak seorangpun boleh menikah lebih dari empat istri. Jadi, meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menikah adalah menikah dengan empat istri atau kurang, sedangkan selebihnya itu merupakan hukum khusus bagi beliau.
Sumber :
Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq

Jumat, 01 Februari 2013

Pelajaran bagi yang Ingin Berpoligami

Pelajaran bagi yang Ingin Berpoligami: Pak Ustadz ... Aku Ingin Menikah Lagi


Poligami memang selalu enak dibicarakan, baik dari sisi positif maupun negatifnya. Pendukung utamanya biasanya barisan bapak-bapak (walaupun biasanya cuma omong doang). Dan yang bersuara sumbang biasanya barisan ibu-ibu, karena khawatir suaminya berpoligami. “Wanita mana sih yang mau membagi cinta” begitu katanya... “Rambut boleh beda warnanya tapi hati wanita tetap sama”.. begitu kata yang lainnya.

Saya pribadi di forum ta’aruf  (di depan kelas, pengajian saat  bertamu,dsb)  sering  dicecar dengan pertanyaan poligami. Biasanya ketika saya bilang anak saya 7 mereka langsung  bertanya: “Dari berapa Istri ? “ (Rupanya program Soeharto- KB 2 anak cukup- sdh tertancap kuat di tengah kita). Bahkan setelah tahu saya poligamer banyak murid, sopir, bahkan ada “orang terhormat” yang konsultasi, yang intinya mereka ingin poligami, bagaimana kiat dan caranya. Saya coba rangkum dan sajikan dalam sebuah dialog Imajiner, sebagai berikut:

“ Pak ustadz .. katanya bapak punya istri dua ya? ..begini.. saya juga sama ingin poligami, saya sudah menemukan wanita yang saya idam-idamkan, rajin ibadahnya, sangat baik, kami sudah sering ngobrol, bertemu (???),  bla..bla.. bla.. “ (intinya dia mengharapkan dukungan saya).
“Maaf.. bapak anaknya berapa? Istri di mana? … “ anak saya tiga pak ustadz.. istri saya di Indonesia” jawabnya. “Bapak punya penghasilan tambahan yang tetap ? (krna saya sudah tahu gajinya sebagai sopir).. sudah punya rumah”. Dia menjawab: “Nggak punya pak.. rumah boro-boro pak, anak istri di rumah orangtuanya”  jawabnya jujur.
“mmm.. Istri bapak jilbaban, ikut pengajian, dan anak-anak yg besar sudah pada sholat 5 waktu & bisa baca Qur’an?”..   Dengan malu-malu ia menjawab: “ eee istri sudah disuruh tapi belum dapat hidayah tadz.. anak-anak juga sering dibilangin tapi ya begitu.. namanya anak-anak..pada seenaknya saja”.
Bagaikan detektif saya tanya lagi (he he…): “ Apa istri bapak merestui / tahu  bapak nikah lagi?..Nanti kalo sudah nikah dan punya 2 istri apa istri pertama mau dibawa kesini atau justru istri kedua mau dipulangkan biar adil?”… dia diam saja, menunggu perkataan selanjutnya.
Akhirnya dia berkata dengan nada agak jengkel: “Apa sih maksud pak ustadz nanya ini itu? Bukannya ngedukung saya malah bikin saya bingung. Bukankah pak ustadz juga punya 2 istri?..kok kaya nggak setuju kalo saya juga menikah lagi, bukankah itu sunnah Rosul?..”
Setelah saya yakin prinsip awalnya untuk poligami sudah goncang dengan pertanyaan-pertanyaan saya, maka kulanjutkan:
“Saudaraku.. memang benar poligami dibolehkan, tapi perlu diingat..syari’at ini bukanlah sunnah/mustahab, hukumnya mubah atau boleh jika terpenuhi syarat-syaratnya. Dan syari’at poligami ini bukan untuk menghancurkan bangunan rumahtangga yang sudah terbina. Sehingga pastikan dulu bahwa rumahtangga anda sudah “beres” baru anda bisa membangun bangunan baru di sampingnya.”
“ Yang perlu diketahui.. di satu sisi poligami identik dengan bertambahnya tanggungjawab dunia-akherat bagi seorang suami. Anda wajib menafkahi 2 istri dan anak-anaknya, anda wajib membimbing agama 2 istri dan anak-anaknya, dan di akherat anda akan dihisab atas urusan mereka semuanya…”.
“Memang besaran gaji bukan penentu, tapi logikanya jika untuk satu istri saja kalangkabut, maka menikah lagi sama dengan mendzolimi istri tanpa diragukan lagi, dan Allah Ta’ala melarang kita berbuat dzolim, bahkan Rasulullah menganggap menelantarkan istri (termasuk dari sisi nafkah) adalah dosa yang tidak diragukan lagi”.
“Yang terpenting adalah aspek pembinaan agama.. jika satu istri saja tidak mampu “menjilbabinya” (kewajiban dasar wanita), anak-anak sholatnya asal-asalan, dsb.. bukankah menikah lagi waktu akan makin berkurang untuk memperhatikan istri pertama dan anak-anaknya?, dan ini berpeluang makin tidak terdidik agama mereka, yg artinya memperberat tanggungjawab akherat anda?”.
“Walaupun persetujuan istri tidak mempengaruhi keabsahan pernikahan, tapi bagaimana mungkin anda hidup tenang dengan bayang-bayang keributan besar bahkan perceraian  jika istri pertama yang tidak siap mengetahui suaminya berpoligami?.”
“Niat poligami “nekat” tanpa ilmu dan kesiapan yang cukup macam begini bukan mengikuti sunnah, bukan membangun.. tapi malah merusak. Merusak masa depan dan ketenangan hidup istri pertama dan anak-anaknya, merusak nama baik Islam, merusak citra poligami sebagai salah satu syariat, dsb.
“Maka dengan penuh cinta..saya sarankan bapak meninjau ulang bahkan buang jauh2 niat poligami ini.. Menabunglah yang benar, segeralah pulang, bahagiakanlah istri dan anak-anak bapak yang tengah menunggu dengan penuh harap. Didiklah istri dan anak-anak bapak agar makin dekat pada Allah dan lebih memahami dan mengamalkan Islam dengan sebaik-baiknya.. yakinlah bapak akan menjadi pahlawan di mata mereka, bapak akan mendapatkan kebahagiaan yang tiada tara, insya Allah.” Juga bapak terbebas dari dosa berpacaran dengan wanita yg bukan mahram. Lupakanlah dia..tinggalkanlah dia, percayalah.. ada banyak pria yang lebih baik dari bapak yang akan menjadi suaminya.
“Adapun saya.. saya agak berbeda dengan bapak. Pertama, saya tidak pernah berniat berpoligami tetapi amanah ini datang tiba-tiba.. setelah berbagai pihak mengusahakan suami untuknya dan gagal semua, akhirnya menunjuk saya..dan saya terima amanah ini (wanita dengan 1 anak) dengan linangan airmata, dengan niat menyelesaikan satu diantara jutaan masalah ummat,  dan istri saya sejak awal mengetahuinya sehingga kami memikul amanah berat ini bersama-sama. Tanpa istri pertama yang menguatkan, memahami, berkorban, dan mendoakan saya..terus terang saya tidak mampu menjalaninya.”
“Juga saya tidak berpacaran seperti bapak.. bahkan keringanan Islam untuk melihat calon istri sebelum menikah pun tidak saya manfaatkan..sekian lama setelah bapaknya mengucapkan ijab dan sekian lama setelah sah menjadi istri, barulah saya melihatnya.” “Dan demi keadilan saya berusaha mendatangkannya.. walaupun akhirnya dengan visa kerja, tetapi hanya beberapa bulan saya keluarkan dari tempat kerja, karena bagaimanapun suamilah yang wajib menafkahinya, dan sebaik-baik tempat bagi seorang istri adalah di rumahnya”.



Memang benar seorang wanita tidak dibenarkan menolak dibolehkannya poligami, bahkan menolak dan mengolok-olok syari’at poligami sama dengan mengolok-olok Islam dan pada kondisi tertentu ini bisa menyebabkan kekufuran. Tetapi seorang istri yang tahu suaminya benar-benar pas-pasan (kemampuan mendidik & ekonominya) maka melarang suaminya berpoligami (tentu dgn cara yg baik, dengan cara-cara yang cerdas, rasional, dan menyadarkan, dengan tetap mengimani bolehnya berpoligami) adalah sebuah kebijaksanaan. Bahkan menganjurkan suaminya tidak menikah lagi adalah bukti cinta pada suami, karena berarti menolong dan meringankan tanggungjawab akherat suami.

Adapun bagi wanita-wanita yang sudah tercerahkan agamanya, istri para ustadz yang diberi kelapangan ilmu dan rizki, jika ada “lajnah munakahat” yang menodong dan mengamanahi sang suami untuk menikahi seorang janda (misalnya ditinggal mati suami yg juga da’i).. maka bisa jadi kurang pantas kalau istri bersikap egois dan ingin “memiliki suami seutuhnya”.

Yah.. begitulah kira-kira… Poligami bisa menjadi berkah jika dilakukan oleh mereka yang memenuhi syarat dan dengan niat yang luhur. Tetapi poligami juga bisa menjadi musibah jika dilakukan secara serampangan tanpa ilmu dan kemampuan. Ya Allah tunjukilah, jagalah, tolonglah selalu diri kami dan seluruh kaum muslimin… amiin ya Robbal’alamiin.

Minggu, 02 Desember 2012

mnb

siswa kls 2

kelas 2





Sulistyamelani
Arbayah
Muhammad Ridwan
Muhammad Iqbal
Arif Hidayatullah
Rizki Agung Fathoni
Siska
Wawan Sakas Priawan


Andy Panca Riadi
Winarti
Puspa Indriani



Agung Eko Prasetyo
Indah Nur Qolbi
Mohammed Al Fayed
Marlina
Hesti Zainuddin
heru
 
Robby Hablil Huda
Nur Habib Ardani 
Khusnul Khotim
Kurniadi Hari Krisman
Siti Khaeriyah

Siti Sumiatun
Nada Berliana Balqis

Dyah ayu wulansih
Tofan shetia ramadhan




















siswa kls 1


siswa kelas 1



Andri Wahyudi
Adithia Mandala Putra
Abdul Gani
Amril
Agung Ardianto
Adiansyah
Bhima Mandala
Dwi Yana Ningrim
Della Dwi Santika
Erik Loca Telli
Ilman Nafi'a
Guntur adi Prasetiyo.
Muhammad Kurnia Sandi
Sahrul
Siti Salbiah
Sarlina
Suratna Dewi 
Yoga Hadi Utama
M.Ansyari
M.Yusuf
Lutfiya Saras Wati
Arul
Septiani
Devinda
Jovan Chandra purnomo
heru

Selasa, 07 Agustus 2012

Ancaman Bagi Orang Yang Tidak Berpuasa



Ancaman Bagi Orang Yang Tidak Berpuasa Di Bulan Ramadlan Tanpa 'Udzur Syar'i
عن أبي هُرَيْرَةَ قالَ: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم "مَنْ أفْطَرَ يَوْماً مِنْ رَمَضَانَ منْ غَيْرِ رُخْصَةٍ ولا مَرَضٍ لَمْ يَقْضِ عنهُ صَوْمُ الدّهْرِ كُلّهِ وإنْ صَامَهُ". رواه الترمذي
Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang berbuka (tidak berpuasa) sehari di bulan Ramadlan tanpa mendapatkan rukhshoh (keringanan) dan juga tanpa adanya sakit, maka seluruh puasa yang dilakukannya selama setahun tidak dapat menimpalinya (membayarnya)." (HR.at-Turmudziy)
عن أبي هُرَيْرَةَ قالَ: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم "مَنْ أفْطَرَ يَوْماً مِنْ رَمَضَانَ منْ غَيْرِ عِلَّةٍ ولا مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدّهْرِ كُلّهِ وإنْ صَامَهُ" . ذكره البخاري معلقا
Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang berbuka (tidak berpuasa) sehari di bulan Ramadlan tanpa adanya alasan ('udzur) ataupun sakit, maka seluruh puasa yang dilakukannya selama setahun tidak dapat menimpalinya (membayarnya)." (HR.al-Bukhariy secara Ta'liq)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud, dia berkata, "Barangsiapa yang berbuka (tidak berpuasa) sehari di bulan Ramadlan tanpa adanya alasan ('udzur), maka tidak ada artinya puasa selama setahun hingga dia bertemu dengan Allah; jika Dia menghendaki, maka Dia akan mengampuninya dan bila Dia menghendaki, maka Dia akan menyiksanya." (Lihat, Fathul Bâriy, Jld.IV, h.161)

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah al-Bahiliy radliyallâhu 'anhu, dia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, 'Tatkala aku sedang tidur, tiba-tiba datang dua orang kepadaku, lantas meraih kedua lengan atasku, kemudian membawaku pergi ke bukit yang terjal. Keduanya berkata, 'Naiklah.' Lalu aku berkata, 'Aku tak sanggup.' Keduanya berkata lagi, 'Kami akan membimbingmu supaya lancar.' Maka akupun naik hingga bilamana aku sudah berada di puncak gunung, tiba-tiba terdengar suara-suara melengking, maka akupun berkata, 'Suara-suara apa ini?.' Mereka bekata, 'Ini teriakan penghuni neraka.' Kemudian keduanya membawaku pergi, tiba-tiba aku sudah berada di tengah suatu kaum yang kondisinya bergelantungan pada urat keting (urat diatas tumit) mereka, sudut-sudut mulut (tulang rahang bawah) mereka terbelah sehingga mengucurkan darah.' Aku bertanya, 'Siapa mereka itu?.' mereka menjawab, 'Merekalah orang-orang yang berbuka (tidak berpuasa) sebelum dihalalkannya puasa mereka (sebelum waktu berbuka).' " . (HR.an-Nasa`iy, di dalam as-Sunan al-Kubro sebagaimana di dalam buku Tuhfatul Asyrâf, Jld.IV, h.166; Ibn Hibban di dalam kitab Zawâ`id-nya, No.1800; al-Hâkim, Jld.I, h.430 . Dan sanadnya adalah Shahîh. Lihat juga, Kitab Shahîh at-Targhîb wa at-Tarhîb, No.995, Jld.I, h.420)

Demikianlah gambaran yang amat mengenaskan dari azab yang kelak akan dialami oleh mereka-mereka yang melanggar kehormatan bulan suci Ramadlan dan mengejek syi'ar yang suci ini dengan tidak berpuasa di siang bolong secara terang-terangan. Sungguh, mereka akan digantung dari ujung kaki mereka layaknya binatang yang digantung saat akan disembelih dimana posisi kakinya diatas dan kepala di bawah. Ditambah lagi, sudut-sudut mulut mereka juga akan terbelah dan mengucurkan darah. Kondisi tersebut benar-benar menjadi gambaran yang sadis dan mengenaskan.
Apakah setelah itu, mereka yang telah berbuat zhalim terhadap diri mereka sendiri, melanggar kehormatan bulan yang diberkahi ini, tidak mengindahkan kehormatan waktu dan hak Sang Khaliq dan menghancurkan rukun ke empat dari rukun Islam tanpa mau ambil peduli untuk apa mereka sebenarnya diciptakan tersebut, mau menjadikannya sebagai pelajaran berharga?

UCAPAN PARA ULAMA

Sementara para ulama menyatakan bahwa orang yang berbuka (tidak berpuasa) pada bulan Ramadlan tanpa 'udzur, maka dia telah melakukan salah satu dari perbuatan dosa besar (Kaba`ir).
Berikut beberapa ucapan para ulama:
1. Imam adz-Dzahabiy berkata, "Dosa besar ke-enam adalah orang yang berbuka pada akhir Ramadlan tanpa 'udzur.." (al-Kabâ`ir:49)
2. Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah berkata, "Bilamana orang yang muntah dianggap sebagai orang yang diterima 'udzurnya, maka apa yang dilakukannya adalah boleh hukumnya. Dengan begitu, dia termasuk kategori orang-orang sakit yang harus mengqadla puasa dan tidak termasuk pelaku dosa-dosa besar yang mereka itu berbuka (di bulan Ramadlan) tanpa 'udzur…" (Majmu' Fatawa:XXV/225)
3. al-Quffâl berkata, "…Dan barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadlan selain karena jima' tanpa 'udzur, maka wajib baginya mengqadla dan menahan diri dari sisa harinya. Dalam hal ini, dia tidak membayar kaffarat (tebusan) namun dia dita'zir oleh penguasa (diberi sanksi yang pas menurut mashlahat yang dipandangnya). Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan Daud azh-Zhahiriy…" (Hilyah al-Awliyâ`:III/198)
4. Syaikh Abu Bakar al-Jazâ`iriy sebagai yang dinukilnya dari Imam adz-Dzahabiy berkata, "…Sebagai yang sudah menjadi ketetapan bagi kaum Mukminin bahwa barangsiapa yang meningglkan puasa bulan Ramadlan bukan dikarenakan sakit atau 'udzur maka hal itu lebih jelek daripada pelaku zina dan penenggak khamar bahkan mereka meragukan keislamannya dan menganggapnya sebagai Zindiq atau penyeleweng…" (Risalah Ramadlan:66)

Seruan
Sesungguhnya orang-orang yang dengan terang-terangan berbuka (tidak berpuasa) di siang bolong pada bulan Ramadlan sementara kondisi mereka sangat sehat dan tidak ada 'udzur yang memberikan legitimasi pada mereka untuk tidak berpuasa adalah orang-orang yang sudah kehilangan rasa malu terhadap Allah dan rasa takut terhadap para hamba-Nya, otak-otak mereka telah dipenuhi oleh pembangkangan, hati mereka telah dipermainkan dan disentuh oleh syaithan dan gelimang dosa.
Mereka tidak menyadari bahwa dengan tidak berpuasa tersebut, berarti mereka telah menghancurkan salah satu dari rukun-rukun dien ini. Mereka adalah orang-orang yang fasiq, kurang iman dan rendah derajat. Kaum Muslimin akan memandang mereka dengan pandangan hina. Mereka termasuk para pelaku maksiat yang besar dan kelak di hari Kiamat, siksaan Allah Yang Maha Perkasa Lagi Kuasa telah menunggu mereka.
Semoga Allah menjauhkan kita dari hal itu, nau'ûdzu billâhi min dzâlik. Wallahu a'lam.

(Diambil dari buku ash-Syiyâm; Ahkâm Wa Adâb karya
Prof.Dr.Syaikh 'Abdullah ath-Thayyar, h.109-111)

Hadis.Kisah 3 Orang Yang Terkurung Di Gua


                                               Kisah 3 Orang Yang Terkurung Di Gua
                                                                              (Bentuk Tawassul Yang disyari’atkan)
            Mukaddimah
Bila melihat fenomena yang ada di masyarakat, kita banyak menemukan hal-hal yang sama sekali jauh dari ajaran Islam bahkan menjurus kepada perbuatan syirik tanpa disadari.
Hal ini tentunya diakibatkan kurangnya pemahaman yang benar tentang ajaran agama, terutama pondasi ‘aqidah yang sangat lemah sehingga ritual-ritual yang sebenarnya merupakan warisan animisme, dinamisme, Budhisme dan Hinduisme masih tetap dilakukan oleh sebagian masyarakat.
Diantara bentuk ritual tersebut, misalnya, mempersembahkan sesajenan kepada apa yang mereka sebut sebagai penguasa pantai selatan -yang lebih dikenal dengan nyi loro Kidul- dengan keyakinan bahwa hal tersebut dapat menghindarkan mereka dari malapetaka dan kemarahannya, dimudahkan rizki dan sebagainya; mendatangi kuburan orang-orang shalih atau orang yang dijuluki sebagai wali, yang dianggap keramat dengan membawa tumbal atau sesajenan seperti ayam dan hidangan yang berupa lauk pauk, dan sebagainya. Mereka menganggap bahwa si penghuni kuburan yang wali dan dianggap keramat tersebut dapat memenuhi keinginan mereka, karenanya mereka memohon melalui mereka agar dapat memenuhi keinginan mereka dalam mendapatkan jodoh, menjadi kaya dan seterusnya. Dan banyak lagi ritual-ritual lain yang sebenarnya bernuansa syirik.
Anehnya, hal itu biasanya mengatasnamakan dien al-Islam dengan membuat nuansa Islami didalam perayaannya bahkan dengan membacakan ayat-ayat al-Qur’an. Sungguh, hal ini merupakan bentuk pelecehan terhadap ajaran Islam dan bagi pelakunya agar segera bertaubat kepada Allah Ta’ala. Apa yang mereka kira, bahwa hal itu merupakan bentuk tawassul adalah salah kaprah. Bila ingin bertawassul maka hendaknya sesuai dengan ketentuan syari’at sebab tawassul semacam itu dilarang dan akan menjerumuskan mereka ke dalam kesyirikan dan kesesatan.
Untuk itu, dalam kajian hadits kali ini, kami menjadikan tema utamanya seputar tawassul yang dianjurkan dan dibenarkan oleh syari’at melalui sebuah kisah yang terdapat dalam hadits yang shahih dan –kiranya- amat masyhur, disamping permasalahan lainnya yang dapat diambil pelajaran dari kisah tersebut.
Metode penjelasan melalui kisah seperti ini biasanya membuat pembaca atau pendengarnya lebih tertarik dan cepat meresap ke dalam sanubari, untuk kemudian ditindaklanjuti dalam kehidupan nyata.
Semoga bermanfa’at dan dapat menggugah hati kita semua.

NASKAH HADITS

عن عبد اللّه بن عمر- رضي اللّه عنهما- قال : سمعت رسول اللّه يقول : » انطلق ثلاثة رهط ممن كان قبلكم حتى أووا المبيت إلى غار فدخلوه ، فانحدرت صخرة من الجبل، فسدّت عليهم الغار، فقالوا: إنه لا ينجيكم من هذه الصخرة إلا أن تدعوا اللّه بصالح أعمالكم، فقال رجل منهم: اللهم كان لي أبوان شيخان كبيران وكنت لا أغْبقُ قبلهما أهلاً ولا مالاً، فنأى بي في طلب شيء يوما، فلم أرِح عليهما حتى ناما : فحلبت لهما غبوقهما، فوجدتهما نائمين، وكرهت أن أغبق قبلهما أهلاً أو مالًا، فلبثت- والقدح على يدي- أنتظر استيقاظهما حتى بَرَق الفجر، فاستيقظا فشربا غبوقهما، اللهم إن كنت فعلت ذلك ابتغاء وجهك ففرّج عنا ما نحن فيه من هذه الصخرة، فانفرجت شيئاً لا يستطيعون الخروج « .
قال النبي : » وقال الآخر: اللهم كانت لي بنت عمّ، كانت أحبَّ الناس إلَّي، فأردتها عن نفسها، فامتنعت منّي حتى ألمَّت بها سنة من السنين ، فجاءتني فأعطيتها عشرين ومائة دينار على إن تخلّي بيني وبين نفسها، ففعَلَت، حتى إذا قدَرْتُ عليها، قالت: لا أحِلّ لك أن تفضّ الخاتم إلا بحقّه، فتحرجت من الوقوع عليها، فانصَرَفْتُ عنها وهي أحبّ الناس إلىّ، وتركتُ الذهب الذي أعطيتها، اللهم إن كنت فعلت ذلك ابتغاء وجهك فافرج عنا ما نحن فيه، فانفرجت الصخرة، غير أنهم لا يستطيعون الخروج منها « .
قال النبي : » وقال الثالث : اللهم إني استأجرت أجراء ، فأعطيتهم أجرهم غير رجل واحد ترك الذي له وذهب ، فثمّرت أجره حتى كثرت منه الأموال، فجاءني بعد حين ، فقال : يا عبد الله ، أدِّ إلي أجري ، فقلت له : كل ما ترى من أجرك، من الإبل، والبقر، والغنم، والرقيق، فقال : يا عبد الله ، لا تستهزئ بي ، فقلت : إني لا أستهزئ بك فأخذه كله فاستاقه فلم يترك منه شيئا ، اللهم فإن كنت فعلت ذلك ابتغاء وجهك فافرج عنا ما نحن فيه ، فانفرجت الصخرة ، فخرجوا يمشون « متفق عليه.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallaahu 'anhuma, dia berkata: “aku mendengar Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:’ada tiga orang yang hidup sebelum kalian berangkat (ke suatu tempat) hingga mereka terpaksa harus berminap di sebuah gua, lalu memasukinya. Tiba-tiba sebuah batu besar runtuh dari arah gunung lantas menutup rongga gua tersebut. Lalu mereka berkata:’sesungguhnya yang dapat menyelamatkan kalian dari batu besar ini hanyalah dengan (cara) berdoa kepada Allah melalui perbuatan-perbuatan yang shalih’ (maksudnya: mereka memohon kepada Allah dengan menyebutkan perbuatan yang dianggap paling ikhlas diantara yang mereka lakukan-red). Salah seorang diantara mereka berkata:’Ya Allah! aku dulu mempunyai kedua orang tua yang sudah renta dan aku tidak berani memberikan jatah minum mereka kepada keluargaku (isteri dan anak) dan harta milikku (budak dan pembantuku). Pada suatu hari, aku mencari sesuatu di tempat yang jauh dan sepulang dari itu aku mendapatkan keduanya telah tertidur, lantas aku memeras susu seukuran jatah minum keduanya, namun akupun mendapatkan keduanya tengah tertidur. Meskipun begitu, aku tidak berani memberikan jatah minum mereka tersebut kepada keluargaku (isteri dan anak) dan harta milikku (budak dan pembantuku). Akhirnya, aku tetap menunggu (kapan) keduanya bangun -sementara wadahnya (tempat minuman) masih berada ditanganku- hingga fajar menyingsing. Barulah Keduanyapun bangun, lalu meminum jatah untuk mereka. ‘Ya Allah! jika apa yang telah kulakukan tersebut semata-mata mengharap wajahMu, maka renggangkanlah rongga gua ini dari batu besar yang menutup tempat kami berada. Lalu batu tersebut sedikit merenggang namun mereka tidak dapat keluar (karena masih sempit-red)’ .
Nabi bersabda lagi: ‘ yang lainnya (orang kedua) berkata: ‘ya Allah! aku dulu mempunyai sepupu perempuan (anak perempuan paman). Dia termasuk orang yang amat aku kasihi, pernah aku menggodanya untuk berzina denganku tetapi dia menolak ajakanku hingga pada suatu tahun, dia mengalami masa paceklik, lalu mendatangiku dan aku memberinya 120 dinar dengan syarat dia membiarkan apa yang terjadi antaraku dan dirinya ; diapun setuju hingga ketika aku sudah menaklukkannya, dia berkata:’tidak halal bagimu mencopot cincin ini kecuali dengan haknya’. Aku merasa tidak tega untuk melakukannya. Akhirnya, aku berpaling darinya (tidak mempedulikannya lagi-red) padahal dia adalah orang yang paling aku kasihi. Aku juga, telah membiarkan (tidak mempermasalahkan lagi) emas yang telah kuberikan kepadanya. Ya Allah! jika apa yang telah kulakukan tersebut semata-mata mengharap wajahMu, maka renggangkanlah rongga gua ini dari batu besar yang menutup tempat kami berada. Lalu batu tersebut merenggang lagi namun mereka tetap tidak dapat keluar (karena masih sempit-red)’ .
Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda lagi: ‘ kemudian orang ketigapun berkata: ‘Ya Allah! aku telah mengupah beberapa orang upahan, lalu aku berikan upah mereka, kecuali seorang lagi yang tidak mengambil haknya dan pergi (begitu saja). Kemudian upahnya tersebut, aku investasikan sehingga menghasilkan harta yang banyak. Selang beberapa waktu, diapun datang sembari berkata: “wahai ‘Abdullah! Berikan upahku!. Aku menjawab:’onta, sapi, kambing dan budak; semua yang engkau lihat itu adalah upahmu’. Dia berkata :’wahai ‘Abdullah! jangan mengejekku!’. Aku menjawab: “sungguh, aku tidak mengejekmu’. Lalu dia mengambil semuanya dan memboyongnya sehingga tidak menyisakan sesuatupun. Ya Allah! jika apa yang telah kulakukan tersebut semata-mata mengharap wajahMu, maka renggangkanlah rongga gua ini dari batu besar yang menutup tempat kami berada. Batu besar tersebut merenggang lagi sehingga merekapun dapat keluar untuk melanjutkan perjalanan’. (Muttafaqun ‘alaih)
SEPUTAR PERAWI HADITS
Beliau adalah seorang shahabat agung, Abu ‘Abdirrahman, ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab bin Nufail, berasal dari suku Quraisy dan al-‘Adawiy.
Beliau juga seorang yang lama berdiam di Mekkah sehingga dinisbatkan kepadanya “al-Makkiy”. Demikian pula, beliau lama tinggal di Madinah setelah di Mekkah, sehingga dinisbatkan kepadanya “al-Madaniy”.
Beliau adalah seorang Imam panutan, masuk Islam saat masih kecil dan berhijrah bersama ayahnya saat belum berusia baligh. Pada perang Uhud, beliau tidak ikutserta karena masih kecil sehingga peperangan pertama yang diikutinya adalah perang Khandaq (perang Ahzâb). Beliau termasuk orang yang membai’at di bawah pohon.
Beliau banyak mewarisi ilmu dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam dan para al-Khulafaur Rasyidun. Wafat pada tahun 73 H.
PENJELASAN KEBAHASAAN
1.    Ungkapan: “inthalaqa tsalâtsatu rahthin min man kâ na qablakum” (’ada tiga orang yang hidup sebelum kalian) yakni tiga orang yang berasal dari Bani Israil.
2.    Ungkapan : “Rahthun” (orang) ; digunakan untuk jumlah dibawah sepuluh orang.
3.    Ungkapan : “an tad-‘ullâha bi shâlihi a’mâlikum” (dengan cara berdoa kepada Allah melalui perbuatan-perbuatan yang shalih), yakni bertawassul-lah kepada Allah Ta’ala dan berdoa-lah kepadaNya dengan perantaraan perbuatan-perbuatan yang shalih yang kalian lakukan.
4.    Ungkapan : “Lâ uhillu laka an tafudldla al-Khâtim illâ bihaqqihi” (’tidak halal bagimu mencopot cincin ini kecuali dengan haknya’), yakni bahwa dia (sepupu perempuannya) memintanya agar tidak menyetubuhinya kecuali dengan cara yang sesuai dengan aturan syara’.
PELAJARAN-PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK
Hadits panjang diatas mengandung banyak sekali pelajaran yang dapat dipetik, diantaranya:
a.     Mengambil pelajaran dan wejangan dari kisah-kisah umat terdahulu
Seorang Muslim patut mempelajari dan merenunginya sehingga dapat bermanfa’at bagi kehidupannya. Bukankah Allah Ta’ala telah mengisahkan banyak sekali kisah-kisah umat-umat terdahulu, terutama para utusan Allah, kepada kita?. Semua itu, tentunya agar generasi selanjutnya dapat memetik pelajaran dari mereka. Dalam hal ini, Allah berfirman: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”. (Q,.s.12/Yûsuf: 111)
b.    Al-Uslûb al-Qashshiy (gaya bahasa yang menggunakan kisah/cerita) dapat membuat pendengar dan pembaca ketagihan untuk mendengar atau membacanya, penuh antusias dan langsung meresponsnya dalam tindakan nyata
Oleh karena itulah, Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam senantiasa dari waktu ke waktu menggunakan metode ini ketika memberikan nasehat kepada para shahabatnya.
Seorang penuntut ilmu perlu juga melakukan metode seperti ini saat menyampaikan kajiannya kepada para pesertanya bilamana dia mendapatkan momen yang tepat untuk itu sebab metode seperti ini memiliki implikasi positif terhadap pemikiran dan akhlaq mereka.
c.     Pentingnya ‘aqidah yang benar dan tauhid yang bersih dari noda syirik
Diantara amalan yang paling agung yang dapat menyelamatkan pelakunya dari bencana yang menimpanya di dunia dan (dari) ‘azab di akhirat adalah ‘aqidah yang benar dan tauhid yang bersih dari noda-noda syirik.
Hal ini tampak dari kisah ketiga orang yang terkurung di dalam gua diatas dimana mereka bersepakat untuk bertawassul kepada Allah Ta’ala melalui amalan-amalan mereka yang mereka anggap paling afdlal dan telah dilakukan dengan seikhlash-ikhlashnya. Ternyata, begitu cepat mereka merasakan hasilnya di dunia.
d.    Tawassul dengan perbuatan-perbuatan yang shalih
Kisah didalam hadits diantas menunjukkan bahwa bertawassul kepada Allah Ta’ala dengan perbuatan-perbuatan yang shalih yang semata-mata mengharap ridla Allah Ta’ala adalah disyari’atkan. Sedangkan bertawassul dengan selain itu, seperti dengan pepohonan, kuburan, para wali dengan memohon kepada mereka sesuatu yang tidak patut kecuali kepada Allah, merupakan syirik yang paling besar yang mengeluarkan pelakunya dari dien Islam. Hal ini didukung oleh firman-firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk (yang lemah) yang serupa juga dengan kamu…”. (Q,.s. 7/al-A’râf:194)
Dan firman Allah Ta’ala: “Katakanlah:"Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai ilah) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada diantara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya, [22]. Dan tiadalah berguna syafat di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafaat itu…”.[23] (Q,.s. 34/as-Saba’:23)
e.    Urgensi doa
Doa merupakan suatu ibadah dan salah satu bentuk taqarrub yang paling afdlal yang harus dilakukan oleh seorang Mukmin terhadap Rabbnya. Ia juga mengandung makna perlindungan seorang hamba kepada Rabbnya dan bagaimana dia merasakan betapa faqir, hinadina serta lemahnya kekuatan yang ada pada dirinya.
Dalam hal ini, ketiga orang tersebut berlindung kepada Allah Ta’ala dan memohon agar Dia Ta’ala menyelamatkan mereka dari kondisi yang tengah mereka alami melalui doa dan tawassul mereka kepadaNya. Allah berfirman: “Dan Rabbmu berfirman:"Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". (Q,.s.40/Ghâfir:60)
Dan firmanNya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (Q,.s. 2/al-Baqarah:186)
f.      Berbakti kepada kedua orangtua
Hadits diatas juga menunjukkan keutamaan berbakti kepada kedua orangtua (birr al-Wâlidain), patuh, melakukan kewajiban terhadap hak-hak keduanya dan mengabdikan diri serta menanggung segala kesulitan dan derita demi keduanya. Diantaranya hak-hak keduanya adalah:
melakukan perintah keduanya selama bukan dalam berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala, melayani, membantu dalam bentuk fisik dan materil, berbicara dengan ucapan yang lembut, tidak durhaka serta selalu berdoa untuk keduanya.
Memperbanyak doa untuk keduanya, bersedekah jariyah atas nama keduanya, melaksanakan wasiat, menyambung rahim serta memuliakan rekan-rekan keduanya. Dalam hal ini Allah berfirman: “Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia, [23]. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah:"Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".[24] (Q,.s. 17/al-Isra’: 23-24)
g.    Berbakti kepada kedua orangtua merupakan sebab terhindarnya dari kesulitan-kesulitan di dunia dan keselamatan dari ‘azab akhirat
Dalam kisah diatas, salah seorang dari mereka, bertawassul kepada Allah melalui perbuatannya yang dianggap paling afdlal dan ikhlas dilakukannya, yaitu berbakti kepada kedua orangtuanya sehingga hal menjadi sebab merenggang dan terbukanya rongga gua dari batu besar yang menutupnya.
Abu Darda’ radhiallaahu 'anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda: “orangtua merupakan pintu pertengahan di surga; jika kamu menginginkannya, maka jagalah ia atau bila (tidak) maka sia-siakanlah “.
Sebagaimana, berbakti kepada kedua orangtua juga merupakan sebab masuk surga, sementara durhaka kepada keduanya merupakan sebab mendapatkan ‘azab di dunia dan akhirat.
Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:”Ada tiga orang yang tidak dapat masuk surga: ‘seorang yang durhaka kepada kedua orangtuanya; orang yang menyetujui terjadinya zina terhadap keluarganya serta wanita yang kelelakian (yang menyerupai laki-laki)”.
h.    Perhatian Islam terhadap kebersihan fisik dan kesucian maknawi
Diantara hal-hal yang sangat diperhatikan oleh Islam, dianjurkan serta berdampak positif terhadap kehidupan manusia setelah mati adalah kebersihan fisik dan kesucian maknawi. Lahiriah seorang Muslim menyingkapkan sisi batiniah dari dirinya. Contohnya dalam kisah ketiga orang diatas; salah seorang diantara mereka tidak jadi melakukan perbuatan keji dan tak senonoh begitu si wanita, yang merupakan sepupunya sekaligus orang yang paling dikasihinya, mengingatkannya akan Rabbnya dan bahwa perbuatan tersebut tidak dilarang. Karena sikapnya yang dapat menjaga dirinya tersebut, dia akhirnya mendapatkan balasan yang baik di dunia, yaitu dengan merenggang dan terbukanya rongga gua dari batu besar yang menutupnya. Sungguh, apa yang berasal dari sisi Allah adalah lebih baik dan abadi.
i.      Kriteria Mukmin sejati
Seorang Mukmin sejati adalah orang yang selalu menghindari dirinya dari perbuatan keji dan mungkar, tidak mendekati perbuatan maksiat dan dosa serta senantiasa berkeinginan kuat agar dapat menjumpai Allah nantinya dalam kondisi tersebut.
j.      Urgensi amanah
Amanah merupakan sesuatu yang agung dan bernilai tinggi di sisi Allah Ta’ala, demikian pula di sisi manusia.
Mengingat urgensinya, Allah Ta’ala menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung maka semuanya enggan untuk memikulnya dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, akan tetapi kemudian amanah tersebut dipikul oleh manusia yang lemah. Bila mengembannya dengan baik, maka akan mendapatkan ganjarannya di dunia dan akhirat, tetapi sebaliknya, bila lalai dan tidak melaksanakannya maka akan menjadi bumerang baginya.
Diantara bentuk amanah adalah:
Mentauhidkan Allah ‘Azza Wa Jalla
Melakukan perbuatan-perbuatan shalih secara umum
Melakukan hak-hak yang terkait dengan orang lain secara umum, dan titipan-titipan, jaminan-jaminan serta hak-hak yang terkait dengan masalah keuangan (menepati dan melunasi sesuai dengan ‘aqad) secara khusus.
k.     Urgensi amal shalih
Amal shalih dengan berbagai jenisnya merupakan sebab berhasilnya seseorang keluar dari rintangan-rintangan serta kesulitan-kesulitan di dunia dan akhirat.
Dalam hal ini, Allah berfirman: “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar, [2]. Dan memberinya rezki dari arah yang tidada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. [3] (Q,.s.65/at-Thalâq: 2-3)
(Diambil dari kajian hadits berjudul “Ash-hâb al-Kahf” , ditulis oleh Syaikh Nâshir asy-Syimâliy [selain Mukaddimah])


Kamis, 12 Januari 2012

Persyaratan Mendapatkan NUPTK

Persyaratan standar minimal tentang PTK yang bisa dijaring baik pendidikan Formal maupun Non Formal untuk mendapatkan NUPTK
Persyaratan umum:
  1. WNI dan WNA yang sudah naturalisasi
  2. Menjadi Pendidik (melakukan tatap muka di depan kelas) dan Tenaga Kependidikan (menunjang proses pendidikan) baik pada pendidikan formal maupun non formal, PNS maupun non PNS dan baik dibawah binaan Kemdiknas maupun Kemenag.
Persyaratan Khusus :
a. PTK Pendidikan Formal
  1. Untuk PNS/CPNS yang dibuktikan dengan bukti SK Penetapan sebagai Guru/Pendidik untuk segera dilakukan proses pendataanberdasarkan bukti fisik pendukung.
  2. Untuk Non PNS pendataan usulan baru dilakukan  maksimal 2 (dua) kali dalam setahun (pada bulan Juni dan Desember menjelang awal semester) dengan syarat : Minimal telah memiliki masa kerja 2 tahun yang dibuktikan dengan SK Penugasan dari lembaga yang berwenang.
 
b. PTK Non Formal
Segera melakukan pendataan PTK-PNF berdasarkan bukti fisik pendukung. Pengusulan NUPTK bagi PTK-PNF dengan syarat :
  1. Sampai akhir tahun 2010 semua PTK PNF segera dimasukkan ke dalam database             SIM NUPTK- PNF untuk diproses generate NUPTK.
  2. Mulai tahun 2011, PTK-PNF yang diusulkan masuk database SIMNUPTK PNF minimal memiliki masa kerja 2 tahun (TMT minimalbulan Juli tahun 2009).
  3. Lembaga/instansinya terdaftar di dinas pendidikan setempat
LATAR BELAKANG

Gambaran Umum

Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 ayat 3 menyebutkan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional. Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah sekolah yang memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan muatan-muatan yang mengacu pada standar pendidikan dari sekurang-kurangnya satu negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan sehingga memiliki daya saing di tingkat internasional (SNP + X).

Sesuai dengan amanat Undang-undang tersebut pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sejak tahun 2004 telah mengembangkan program rintisan SBI untuk memfasilitasi Sekolah yang berpotensi menjadi SBI. Salah satu komponen yang perlu dikembangkan untuk mewujudkan SBI adalah pendidik. Kompetensi pendidik SBI harus memenuhi standar kompetensi pendidik yang sesuai dengan standar nasional pendidikan yang diperkaya dengan standar kompetensi pendidik yang berstandar internasional.

Pendidik pada SBI harus memenuhi standar kompetensi yang meliputi:
  1. Memiliki kualifikasi akademik minimal S-1
  2. Memiliki latar belakang keilmuan sesuai dengan mata pelajaran yang dibina
  3.  Memiliki sertifikat profesi pendidik sesuai jenjang satuan pendidikan tempat tugasnya (nasional dan       internasional)
  4. Memiliki kesanggupan untuk mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan
  5. Memiliki kinerja tinggi baik secara individu maupun dalam kelompok
  6. Mampu menggunakan media/sumber belajar berbasis teknologi informasi dan komunikasi dalam proses belajar mengajar
  7. Mampu melaksanakan proses belajar mengajar dalam Bahasa Inggris secara efektif (TOEFL > 500).
 Rencana strategis (Renstra) Depdiknas tahun 2004-2009 mentargetkan bahwa di setiap kabupaten/kota (sekitar 440 buah) harus diselenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional. Sampai dengan tahun 2007 Depdiknas telah memberikan block grant kepada 200 SMA, 112 SMK, 200 SMP dan 38 SD untuk membantu sekolah-sekolah tersebut dalam mengembangkan program menuju SBI. Selain itu Departemen Agama juga telah memberikan block grant kepada sejumlah Madrasah untuk tujuan yang sama. Sebagai konsekuensi dari program pengembangan SBI, saat ini kebutuhan akan tenaga pendidik dari dalam negeri yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan sebagaimana tersebut di atas sangat mendesak agar tidak diisi oleh tenaga dari luar. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sampai saat ini belum ada LPTK yang secara formal menyelenggarakan program S-1 MIPA yang lulusannya mampu mengajar di SBI. Untuk mengatasi hal ini pemerintah melalui Direktorat Ketenagaan Ditjen Dikti meluncurkan sebuah program hibah untuk pengembangan pendidikan guru bertaraf internasional bidang MIPA. Dalam program ini pemerintah akan memberikan block grant kepada sejumlah Perguruan Tinggi yang dinilai mampu menyelenggarakan pendidikan guru MIPA bertaraf internasional yang lulusannya memenuhi standar kompetensi SBI.

LANDASAN HUKUM

      Pengembangan pendidikan guru bertaraf internasional bidang MIPA berlandaskan pada:
  1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal 50:
  2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005?2025 mengatur perencanaan pembangunan jangka panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dalam Pasal 61 Ayat (1) menyatakan bahwa: Pemerintah bersama-sama pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi sekolah bertaraf internasional.
  4. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005?2009 menyatakan bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa, perlu dikembangkan sekolah bertaraf internasional pada tingkat kabupaten/kota melalui kerjasama yang konsisten antara pemerintah dengan pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan, untuk mengembangkan SD, SMP, SMA, dan SMK yang bertaraf internasional.

   1. KEGIATAN
      Hibah Program Pengembangan Pendidikan Guru Bertaraf Internasional bidang MIPA merupakan block grant yang diberikan oleh Pemerintah (Ditjen Dikti-Depdiknas) dari APBN kepada LPTK negeri maupun swasta yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk menyelenggarakan pendidikan guru bertaraf internasional bidang MIPA program S-1. Mengingat kebutuhan guru MIPA untuk SBI sangat mendesak maka program hibah ini tidak hanya melibatkan mahasiswa angkatan 2008/2009 tetapi juga harus diterapkan pada mahasiswa angkatan 2006/2007 dan 2007/2008 sehingga dihasilkan lulusan pada tahun 2010. 



   2. TUJUAN
      Program hibah Pengembangan Pendidikan Guru Bertaraf Internasional bidang MIPA ditujukan untuk membantu LPTK menghasilkan guru-guru MIPA yang memenuhi standar kompetensi SBI.

  
3. INDIKATOR KELUARAN

      Program hibah Pengembangan Pendidikan Guru Bertaraf Internasional bidang MIPA dinyatakan berhasil jika indikator-indikator berikut ini dapat dicapai.
  1. Tersedianya kurikulum program S-1 pendidikan guru bertaraf internasional bidang MIPA pada tahun pertama.
  2. Tersedianya bahan ajar bahasa Inggris untuk MIPA. Perguruan tinggi penerima hibah diharuskan membuat mata kuliah bahasa Inggris untuk MIPA.
  3. Tersedianya minimal dua bahan ajar (hand out) beserta Satuan Acara Perkuliahan dan instrumen evaluasi pembelajaran dalam bahasa Inggris untuk mata kuliah bidang studi setiap program studi setiap semester.
  4.  Lulusan mampu menggunakan media/sumber belajar berbasis teknologi informasi dan komunikasi dalam proses belajar mengajar.
  5.  Lulusan mampu menyusun Rencana Program Pengajaran dan mampu mengampu pembelajaran bidang studi MIPA yang dikuasai dengan pengantar bahasa Inggris.
  6.  Terjadinya peningkatan secara signifikan skor rata-rata TOEFL mahasiswa setiap tahunnya dan pada akhir masa studinya rata-rata skor TOEFL mahasiswa minimal 500.

Perguruan tinggi pengusul diharuskan membuat target pencapaian performance indicators tahunan yang didasarkan pada hasil evaluasi diri dan program yang diusulkan.

   MEKANISME PELAKSANAAN

      Persyaratan Pengusul
      Perguruan tinggi pengusul program hibah Pengembangan Pendidikan Guru Bertaraf Internasional bidang MIPA harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
  1. Hibah ini khusus diberikan kepada perguruan tinggi yang memiliki jurusan atau program studi S-1 Pendidikan Matematika, Pendidikan Fisika, Pendidikan Kimia dan Pendidikan Biologi.
  2. Fakultas memiliki sekurang-kurangnya 25 persen dosen lulusan luar negeri dalam bidang yang linear dari universitas yang menggunakan pengantar Bahasa Inggris atau dosen lulusan dalam negeri yang memiliki skor TOEFL/IELTS sekurang-kurangnya 500/5,5.
  3. Akreditasi institusi minimal B atau setiap program studi S-1 Pendidikan Matematika, Pendidikan Fisika, Pendidikan Kimia dan Pendidikan Biologi minimal B.
  4. Fakultas mampu mengembangkan pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
  5. Fakultas harus menjalin kemitraan dengan Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris atau UPT Bahasa, dengan disertai dokumen kemitraan.
  6. Apabila diselenggarakan kelas-kelas khusus untuk pendidikan guru bertaraf internasional bidang MIPA maka harus berisi antara 20 sampai 25 mahasiswa per kelas.
  7. Perguruan tinggi pengusul telah menghasilkan lulusan jenjang S-1 bidang MIPA.
  8. Perguruan tinggi pengusul memiliki unit penjaminan mutu.
  9. Perguruan tinggi terpilih harus membentuk task force pengelola hibah.

Selain itu perguruan tinggi pengusul juga harus menunjukkan komitmennya untuk mengikuti peraturan dan kebijakan yang telah digariskan oleh pemerintah, yang antara lain ditandai dengan:
  1. Pemenuhan atas persyaratan minimal penyelenggaraan perguruan tinggi, khususnya menyangkut izin operasi perguruan tinggi dan program studi yang diselenggarakan.
  2. Secara tertib dan lengkap menyampaikan laporan EPSBED kepada Ditjen Dikti yang meliputi seluruh program studi yang diselenggarakan perguruan tinggi tersebut.
  3. Tidak menyelenggarakan program yang bertentangan dengan kebijakan Ditjen Dikti seperti kelas jauh, ijazah palsu, menyelenggarakan program tanpa izin, dll.
  4. Tidak sedang dikenakan sanksi oleh Ditjen Dikti (termasuk yang terkait dengan penyimpangan dalam pelaksanaan hibah sebelumnya).
  5. Bersedia mengikuti sistem dan prosedur pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan dan pengadaan yang ditetapkan pemerintah.



PROSES SELEKSI

      Dalam melakukan proses seleksi dan menetapkan calon penerima hibah akan dipertimbangkan kondisi geografis LPTK. Pada tahap pertama ini akan dipilih 4 LPTK sebagai pemenang hibah. Proses seleksi penerima hibah mencakup 3 tahap yaitu: Evaluasi Proposal (Desk Evaluation), Site Evaluation, dan Penetapan Pemenang.

A.    Evaluasi Proposal
Evaluasi Proposal dititikberatkan pada kemampuan perguruan tinggi dalam melakukan evaluasi diri dan merancang usulan program pengembangan. Proposal yang memenuhi persyaratan pengusul akan dievaluasi oleh peer reviewer. Masing-masing proposal akan dievaluasi secara terpisah oleh 3 reviewer. Ketiga reviewer selanjutnya akan menyampaikan rekomendasi tentang mutu dan kelayakan proposal tersebut.

B.     Site Evaluation
Site evaluation dilakukan secara bersama-sama oleh satu tim yang terdiri dari tiga reviewer. Site evaluation ini bertujuan untuk validasi dan verifikasi hal-hal yang dijadikan landasan dalam mengambil keputusan pada saat evaluasi proposal. Kriteria penilaian yang digunakan pada tahap ini sama dengan kriteria yang digunakan untuk menilai proposal. Pada site evaluation ini dilakukan observasi dan diskusi dengan elemen-elemen yang terkait. Aspek yang dievaluasi mencakup kejelasan program, keterlibatan elemen terkait, dan kelayakan anggaran yang diajukan.

C.     Penetapan Pemenang
Penetapan pemenang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi setelah memperhatikan rekomendasi dari reviewer baik menyangkut evaluasi proposal (desk evaluation) maupun site evaluation.

D    Monitoring dan Evaluasi

4.      Tujuan

Kegiatan monitoring dan evaluasi dilaksanakan untuk mengetahui transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan pengelolaan hibah dan pengembangan pendidikan guru bertaraf internasional bidang MIPA secara langsung di lapangan (Perguruan Tinggi penerima hibah). Kegiatan ini tidak hanya ditujukan untuk mengetahui seberapa baik dana hibah telah/sedang dikelola dan seberapa berhasil program pengembangan pendidikan guru bertaraf internasional bidang MIPA telah/sedang dilaksanakan, tetapi juga untuk mengidentifikasi kendala-kendala implementasi (bila ada), menemukan solusi terhadap hambatan-hambatan di lapangan, dan memperoleh umpan balik dari penerima hibah untuk perancangan/pengembangan kebijakan pemberian hibah serupa pada masa mendatang.

5.      Pelaksana Monitoring dan Evaluasi

Pelaksana monitoring dan evaluasi adalah tim yang dibentuk oleh Direktorat Ketenagaan Dikti. Tim ini terdiri dari personal yang memiliki pengetahuan dan kemampuan yang memadai dalam pengelolaan dana hibah dan pengembangan pendidikan guru bertaraf internasional bidang MIPA. Sebelum menjalankan tugasnya, tim menyusun instrumen monitoring dan evaluasi dan memperoleh pembekalan secukupnya.

6.      Aspek-aspek Monitoring dan Evaluasi
Fokus monitoring dan evaluasi mencakup beberapa aspek, antara lain:
1. Kinerja tim hibah di Perguruan Tinggi penerima hibah.
2. Kualitas proses pelaksanaan masing-masing program pengembangan sebagaimana tertuang dalam proposal.
3. Kualitas pencapaian tujuan masing-masing program pengembangan sebagaimana tertuang dalam proposal.
4. Ketertiban administrasi pengelolaan hibah, dan
5. Dampak penerimaan hibah.


E .PENGAWASAN

Untuk menjamin pelaksanaan pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, perlu dilakukan pengawasan dan pengendalian. Rektor sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan program ini di perguruan tinggi masing-masing. Pengawasan juga dilakukan oleh instansi resmi, antara lain Inspektorat Jenderal Depdiknas. Selain itu, warga perguruan tinggi yang bersangkutan, masyarakat umum ataupun lembaga lain yang kompeten dapat memberikan pengawasan terhadap pelaksanaan hibah ini. Oleh karena itu tim pengelola hibah harus melaksanakan program ini secara transparan dan akuntabel

  PEMBIAYAAN

      Program hibah direncanakan untuk jangka waktu 4 (empat) tahun. Dana hibah yang disediakan untuk pengembangan pendidikan guru bertaraf internasional bidang MIPA ini maksimal sebesar Rp 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) untuk 4 (empat) tahun, dengan porsi pembiayaan maksimal 90% dari Ditjen Dikti dan minimal 10% dari Perguruan Tinggi pengusul. Pembiayaan akan menerapkan paradigma output-outcome oriented. Artinya, penggunaan block grant tidak hanya untuk mahasiswa angkatan 2008/2009. Usulan program harus mampu menghasilkan lulusan pada tahun 2010 yakni dengan melibatkan mahasiswa angkatan 2006/2007 dan 2007/2008. Dengan demikian, perencanaan program dan pembiayaan harus disusun untuk 4 (empat) tahun, dilengkapi action plan untuk setiap tahunnya. 

Berikut akan dijelaskan komponen-komponen biaya yang dapat diusulkan.

         1. Pengembangan kurikulum
         2. Peralatan
         3. Bahan habis praktikum
         4. Bahan Ajar
         5. Pengembangan Staf
         6. Bantuan Teknis
         7. Penelitian dan Pengembangan
         8. Manajemen Program